Rabu, 25 Januari 2012

Antara Tuhan dan Diriku



Seekor burung melayang di angkasa. Mengitari hutan rimba yang berada di lereng gunung Akina. Matanya menatap sekawanan lebah yang tengah menghisap sari bunga Edelweis. Hembusan angin menerpa pepohonan. Satu per satu dedaunan berguguran.menandakan musim gugur akan segera tiba. tidak akan ada lagi bunga Sakura yang bermekaran seperti di musim semi. Burung tersebut terus berputar. Pandangannya  tetap mengarah ke bawah  layaknya raja yang sedang mengamati rakyatnya dari angkasa.
            Namun, di balik kegarangannya terpancar kesayuan dari kedua matanya. Ia seperti kebingungan mencari tempat sebagai sarang barunya. Mungkin sarangnya telah rusak seiring gugurnya bunga sakura yang diterpa angin musim gugur. Suara kicaunya seolah menanyakan kenapa Tuhan membuat musim gugur yang merusak hari-hari indahnya di musim semi. Aku terus memperhatikan burung tersebut hingga ia hilang bersembunyi di balik punggung gunung Akina.
            Aku melihat sosok diriku dalam burung tersebut. Sedih, bingung, dan tidak tahu harus berbuat apa karena perubahan yang disebabkan oleh sang waktu. Sebuah peristiwa terbayang di depan mataku seperti film yang tengah diputar ulang. Peristiwa yang merubah diriku. Merubah penampilan, perilaku, serta perasaanku.
Aku kembali teringat akan senja yang membuatku kehilangan wanita yang telah mengisi kekosongan hatiku. Menemani jiwaku yang telah sekian lama terpenjara kesepian. Terkenang kembali akan ketidakadilan Tuhan padaku. Ia merenggut Ayah dan Ibu yang sangat aku sayangi ketika aku masih kecil dan kini Ia menjauhkan Dewi dari diriku.
Suatu senja di lereng gunung Akina yang dipenuhi bunga, Dewi datang dengan air mata berlinang di pipinya. Ia mengatakan jika ia harus menikah dengan seseorang pilihan Ayahnya. Hatiku remuk redam tatkala deretan kata yang diucapkan Dewi melewati gendang telingaku. Aku marah namun bukan pada Dewi. Ia terpaksa menikah karena perintah dari orang tuanya. Kemarahanku bukan pula pada Ayah Dewi.
            Kemarahanku tertuju pada Tuhan. Sebuah pertanyaan mengalun di hatiku. Pertanyaan kenapa Tuhan menakdirkan aku seperti ini. Pemuka agama selalu berkata jika Tuhan selalu menyayangi manusia ciptaannya. Namun, mengapa Dia selalu membuatku merasakan penderitaan. Mungkinkah Dia tidak menyayangiku. Tapi mengapa ? hamper semua perintahnya telah aku jalani dan semua larangannya telah aku hindari.
            Atau mungin aku bukan manusia ciptaan-Nya ? Mungkin aku manusia yang lahir di luar kehendak-Nya. Keputusasaan sempat hinggap di jiwaku. Aku memutuskan mengakhiri perjalanan hidupku. Namun, ketika aku akan melaksanakan keputusanku, jawaban akan semua pertanyaan muncul di otakku.
            Mungkin Dia bahagia melihatku seperti ini. Menikmati semua penderitaan yang tengah kurasakan. Aku membatalkan keinginanku mengakhiri hidup. Aku memutuskan untuk melawan-Nya. Jika Dia bahagia melihatku menderita, maka aku berusaha untuk tidak menderita agar Dia tidak lagi bahagia. Jika Dia memberikan penderitaan padaku tatkala aku mematuhi perintah-Nya, maka kini aku akan melakukan segala yang dilarang-Nya. Jika Dia tidak menghargaiku jika aku menjadi umat-Nya, maka kini aku akan hadir sebagai musuh-Nya. Mabuk, berjudi, membunuh, mencuri, berzina aku lakukan sebagai bentuk kekecewaanku pada-Nya.
            Suatu hari secara tidak sengaja aku bertemu dengan Alya, salah satu teman masa kecilku. Setelah pertemuan pertama tersebut, frekuensi pertemuanku dengan Alya semakin sering. Aku melihat tanda jika ia menyimpan perasaan padaku. Hal tersebut tidak aku sia-siakan. Aku ingin menjadikan Alya sebagai alat pembalasan dendamku pada-Nya.
            Suatu senja di lereng gunung Akina aku duduk berdua dengan Alya. Suasana di sekitar kami sangat sepi karena ini merupakan hari kerja. Tidak ada seorang pun di tempat tersebut selain aku dan Alya. Kami berdua berbincang sembari menikmati indahnya cahaya surya di kala senja. Tiba-tiba muncul ide untuk melaksanakan apa yang telah lama aku rencanakan, membalas apa yang telah dilakukan Tuhan padaku melalui Alya. Dia dulu merenggut orang tua dan wanita yang sangat aku sayangi di kala senja, dan kini tatkala senja memamerkan keindahan sinarnya aku akan merenggut kehormatan Alya, wanita yang kuketahui sebagai umat-Nya yang taat. Aku ingin mengetahui apa yang akan Dia lakukan jika aku menyakiti umat-Nya yang tekun memuji-Nya.
            Dua bulan setelah peristiwa di lereng gunung Akina, Alya memberitahuku jika ia kini tengah mengandung keturunanku. Aku diam tatkala Alya mengatakan semuanya. Tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibirku. Alya beranjak pergi setelah semuanya selesai ia katakan.
            Rupanya itu merupakan terakhir kali aku bertemu Alya. Aku dan dia tidak pernah lagi berjumpa, entahlah, mungkin karena takdir atau memang karena aku selalu menghindar dan berusaha agar tidak bertemu dengannya lagi.
            Beberapa bulan kemudian aku mendengar berita jika Alya meninggal dunia. Ia ditemukan tewas setelah darah mengucur sedemikian deras dan banyaknya dari nadinya. Ternyata ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, sebuah keputusan yang sempat terpikirkan olehku. Bahagia dan sedih menghiasi relung hatiku ketika aku mendengar kabar tersebut. Bahagia karena aku telah membalaskan dendamku pada-Nya yang telah mengambil semua yang aku sayangi. Namun, di satu sisi aku juga merasakan kesedihan karena Alya, wanit polos yang tidak ada hubungannya sama sekali telah menjadi korban dalam permusuhanku dengan Dia.
            Lamunanku terhenti saat burung yang terbang tadi berkicau dengan kerasnya. Rupanya ia masih belum menemukan tempat yang tepat sebagai sarangnya yang baru. Ia terbang tanpa arah dan hanya berputar-putar di angkasa. Seperti diriku yang berjalan tanpa tujuan menjalani sisa hidupku. Aku bangkit dari dudukku dan mulai berjalan. Berjalan entah ke arah mana. Mungkin hanya sang waktu yang akan mengetahui akhir dari perjalananku. Sang surya masih memamerkan keindahan cahayanya di kala senja. Masih sama ketika aku kehilangan orang tuaku, Dewi, serta pergumulanku dengan Alya.

Kamis, 08 Desember 2011

PELITA JAYA ESIA

Pelita Jaya Esia Jakarta menolak bahwa raihan posisi keempat di turnamen preseason lalu disebabkan karena pilar-pilar utama mereka tidak ikut bergabung. Terlepas dari hal tersebut, tanpa pemain pilarnya saja, Pelita Jaya tetap menunjukan kelasnya.
Tampil sebagai juara musim reguler 2010-2011 dengan catatan menang-kalah terbaik, Pelita Jaya harus puas hanya sebagai juara ketiga NBL Indonesia 2010-2011. Namun demikian, Pelita Jaya tetap memiliki potensi sebagai juara di musim baru ini.
Alasan kuat mengapa Pelita Jaya tetap merupakan kandidat kuat juara NBL Indonesia 2011-2012 adalah kekuatan merata para pemainnya pada setiap posisi. Pelita Jaya memiliki bigman-bigman kokoh pada diri Ponsianus Indrawan, Fidyandini, dan Yudhi Mardiyansyah, shooter tajam sekaliber Ary Chandra, dan pengatur serangan elegan, Kelly Purwanto.
Players to watch/Pemain sorotan
Kini, Pelita Jaya sangat layak mendapat julukan tim bertabur bintang. Pemain-pemain yang pada saat SEA Games lalu membela Indonesia kembali membela timnya. Lawan-lawan Pelita Jaya harus mencari cara ampuh untuk membendung Ponsianus Indrawan, Andi Poedjakesuma, Fidyandini, Dimas Aryo Dewanto, Romy Chandra, dan Ary Chandra.

Minggu, 04 Desember 2011

Keputusasaanku


Teringat kembali akan dirimu
Saat kunikmati kesepianku
Kesendirian di keheningan malam
Ketika semua terlelap dalam alam khayal
                Ku tanya pada rembulan
Ku tanya pada bintang
Ku tanya pada Tuhan
Tentang dirimu yang
Mewarnai hariku
Namun semua diam
Seakan tak mempedulikanku
Seakan mengacuhkanku
Kini . . . . .
Sendiri . . . . .
Aku cari jawaban
Atas semua petanyaan
Aku tak lagi mengharap
Rembulan . . . . .
Bintang . . . . .
Atau Tuhan . . .
Menjawab . . .
Karena kutak pecaya lagi
Akan mereka
Bagiku mereka . . .
Hanya ilusi manusia yang tak nyata
Bagiku mereka . . .
Tak pernah ada . . .


Rabu, 30 November 2011

Perjalanan Hidup Sang Tokoh

Musim kemarau tengah melanda perkampungan transmigrasi tersebut. Telah lama hujan tidak turun dan mengakibatkan kekeringan. Tanaman-tanaman tak ada yang tumbuh subur. Buah pepaya dan buah bengkuang dipanen dalam keadaan tanpa air. Hal ini membuat gusar seluruh warga perkampungan transmigrasi tersebut.
Suatu hari si Kacamata berkata di tengah-tengah masyarakat jika mereka harus pindah dari perkampungan tersebut. Terjadi perdebatan diantara mereka. Ada yang setuju dengan usul si Kacamata. Namun, ada juga yang tidak menyetujuinya. Si Kacamata akhirnya pergi juga dari perkampungan tersebut. Lalu setiap hari satu-persatu warga yang lain memutuskan pindah juga dari perkampungan tersebut. Namun, si Tokoh memutuskan untuk tetap menetap. Ia tidak ingin meninggalkan perkampungan tersebut. Para warga menyisihkan sebagian bekal mereka dan memberikannya kepada si Tokoh.
Kini para warga telah pergi termasuk si Kacamata. Yang tersisa kini hanyalah si Tokoh dan si Gemuk Pendek. Namun, si Gemuk pendek pun memuuskan untuk pergi. Si Tokoh mengantarkan kepegian si Gemuk Pendek hingga ke galangan. Si Tokoh memandangi kepergian si Gemuk hingga ia hilang di kejauhan.
Semua penduduk perkampungan transmigrasi tersebut telah pergi kecuali si Tokoh. Ia kini tinggal sendirian. Untuk mengusir rasa kesepiannya ia memikirkan suatu kesibukan yang akan dilakukannya. Ia amemutuskan untuk menggali sebuah sumur. Setiap hari yang dikerjakannya hanyalah bangun di kala subuh. Jalan-jalan menanti matahari terbit. Memasak makanan. Sarapan. Menggali sumur. Makan siang. Menggali lagi hingga sore. Membersihkan badan. Jalan-jalan menanti matahari terbenam. Kamudian Tidur.
Lama kelamaan persediaan makanan menipis. Ia memutuskan hanya makan sekali sehari. Namun, ketika makanannya habis ia sama sekali tidak makan.Meskipun ia tidak makan jasmaninya sama sekali tidak menderita. Ototnya membesar. Ia kini memiliki kebiasaan baru yakni berbicara kepada semua yang ada di perkampungan tersebut. Kepada gubuk-gubuk. Kepada ototnya. Kepada angin dan lain sebagainya. Suatu malam ia teringat akan perjalanan hidupnya. Ia termenung mengenang malam-malamnya dahulu.
Ia teringat akan masa-masa ketika ia tengah kuliah. Teman-temannya banyak yang telah menyelesaikan pendidikannya dan menjadi pejabat-pejabat penting. Namun ia sendiri tak kunjung menyelesaikan kuliahnya. Bukan karena ia tidak bisa. Namun, karena mendapatkan gelar bukanlah tujuannya kuliah.
Ia terus menjalani aktivitasnya sebagai seorang mahasiswa. Namun satu hari dia mulai enggan untuk kuliah. Ia kini beralih dari sebuah kelas ke sebuah kamar. Ia keluar kamar hanya untuk pergi ke perpustakaan dan meminjam banyak buku. Semua kegiatannya ia lakukan di dalam kamarnya.
Suatu ketika, semua bukun ia kumpulkan dan dia kembalikan ke perpustakaan. Dia memutuskan pergi dan meninggalkan kamarya. Ia menaiki sebuah becak dan turun di depan kantor transmigrasi. Dia akhirnya memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi tersebut.

Persediaan makanannya kini telah habis. Dia kini tak lagi makan. Untuk melupakan rasa laparnya ia kembali menggali sumur. Menggali, menggali dan menggali. Itulah yang terus ia lakukan.
Ketika malam tiba, tiba-tiba penglihatannya menjadi serba kuning. Kemudian muncul warna hijau, biru dal sebagainya. Dia pergi ke sebuah guci tempat penyimpanan air. Namun, karena gelapnya keadaan di sekitarnya, ia tak sengaja menendang guci tersebut. Guci itu pecah dan persediaan airnya tumpah ke tanah.
Ia putus asa. Sembari tertawa ia mengambil sebuah korek api dan membakar gubuk-gubuk tersebut. Ia berlari ke galangan sembari tertawa dan akhirnya ia terjatuh tak sadarkan diri.

Ia terbangun di sebuah kamar rumah sakit. Ia ditemukan oleh salah satu petugas transmigrasi tergeletak tak sadarkan diri. Di tepi perkampungan transmigrasi yang telah hangus dilalap si jgo merah. Namun ia memutuskan pergi dari rumah sakit tersebut.
Ia menaiki sebuah mobil yangdikendarai oleh petugas trasmigrasi. Tetapi, di tengah perjalanan ia meminta petugas trasmigrsi berhenti dan turun dari mobil tersebut. Ia goncang-goncang tangan petugas trasmigrasi sembari mengucapkan selamat tinggal lalu pergi.
Tibalah ia ke sebuah persimpanga jalan. Dia bernafas dalam-dalam kemudian melangkah. Suara klakson mobil membahana di telinganya. Sebuah mobil sedan berhenti tepat di depannya. Si pengendara berteriak memaki si Tokoh karena menyeberang tanpa menoleh. Tiba-tiba si pengendara tersebut keluar dari mobilnya lalu memeluk si Tokoh. Si pengendara tersebut ternyata si Gemuk Pendek temannya dahuluketika di perkampungan transmigrasi. Si gemuk pendek menyuruh si Tokoh masuk ke mobilnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah. Si Tokoh yang heran temannya kini telah menjadi orang kaya akhirnya bertanya perihal kekayaan yang didapat si GemuK Pendek. Dengan bangga si Gemuk Pendek bercerita jika ia menjadi seorang penyelundup dan pengedar uang palsu. Dia dulu bertemu dengan si Kacamata yang mengangkatnya menjadi wakil. Namun, karena si Kacamata telah tewas ditembak pasukan patroli.
Si Gemuk Pendek menekan tombol yang ada di dinding. Kemudian muncullah seorang wanita. Menurut cerita si Gemuk Pendek dia adalah warisan si kacamata. Hanya diperuntukkan untuk para pemimpin. Dia dipanggil dengan sebutan VIP.
Si Tokoh kemudian berdiri dan pamit kepada si Gemuk Pendek. Si Gemuk Pendek memberikan sejumlah uang kepada si Tokoh sebagai bekal di jalan.
Si Tokoh tiba di persimpangan jalan kembali. Yang satumenuju kota besar lainnya dan yang satu menuju kota kecil kecamatan. Dia lebih memilih untuk pergi ke kota kecil kecamatan daripada ke kota besar lainyya. Langkahnya perlahan melewati jalan yang tak beraspal tersebut.
Dia terus berjalan meskipun malam telah dating. Tiba-tiba dia mendengar suara. Dari suaranya, si Tokoh mengetahui jika itu suara orang tua. Setelah berbincang perbincangan yang tidak sewajarnya, si Tokoh pergi. Dia kembali berjalan menuju ke kota kecil kecamatan. Tepat jam dua belas siang Tokoh tiba di sekelompok rumah. Namun, dia sama sekali tak melihat manusia.
Si Tokoh mengelilingi rumah-rumah tersebut. Bau dari makanan tertentu tiba-tiba menusuk hidungnya. Si Tokoh mencari asal bau itu. Ternyata bau itu berasal dari sebuah rumah. Si Tokoh masuk ke salah satu rumah asal dari bau makanan tadi. Namun, kembali tak ada orang di sana. Si Tokoh berniat keluar dari rumah tersebut. Tetapi, dia melihat seorang laki-laki berjanggut tebal hendak masuk ke rumah itu. Si Tokoh terkejut begitupun dengan si Janggut. Tokoh kita mengira si Janggut akan marah dan mengajaknya berkelahi. Namun, tanpa disangka sebelumnya ternyata si Janggut mengajaknya kembali ke dalam rumah dan menjamunya layaknya seorang tamu. Si Janggut mempersilahkan jika si Tokoh ingin tinggal di perkampungan tersebut.
Si Janggut menceritakan perjalanan hidupnya pada si Tokoh. Si Janggut merupakan ketua gerombolan pengacau. Dia dan gerombolannya merampok, membunuh, dan memperkosa. Namun satu hari dia dan gerombolannya merasakan kejemuhan atau kebosanan. Mereka tak lagi memiliki hasrat untuk melakukan perbuatan-perbuatan seperti yang mereka lakukan dahulu. Satu-persatu anggota gerombolannya berguguran tertembak pasukan-pasukan pemerintah. Sementara sebagian anggotanya yang lain tewas di tangan si Janggut. Mereka ingin tewas di tangan pemimpinnya itu. Mereka berpura-pura ingin menembak si Janggut. Si Janggut yang tidak mengetahui rencana anggotanya membalas tembakan itu sehingga tewaslah anggota gerombolan yang ia pimpin.
Suatu hari si Tokoh mengajak si Janggut ke kota. Mereka pergi ke rumah si Gemuk Pendek teman si Tokoh di perkampungan trnsmigrasi dahulu. Si Tokoh mengajak si Janggut kesana karena inginmenguji si Janggut perihal masalah kebutuhan biologis manusia. Ia inginmengetahui apakah si Janggut masih memiliki nafsu atau hasrat kepada wanita setelah lama hanya berkumpul dengan anggota gerombolannya yang semuanya laki-laki. Mereka disambut oleh VIP. Wanita milik si Gemuk Pendek. Namun, meeka tidak bertemu dengan si Gemuk Pendek karena ia sedang bepergian.VIP menyiapkan dua kamar untuk mereka. Satu untuk si Janggut dan yang satu untuk si Tokoh. Petangnya mereka jalan-jalan menikmati suasana perkotaan. Mereka mampir ke sebuah warung.
Setelah bercakap-cakap di warung tersebut mereka berdua kembali ke rumah si Gemuk Pendek. Setibanya disan mereka melihat seorang wanita lain yang masih muda dan cantik. Mereka bersalaman sembari saling diprkenalkan oleh VIP.
Si Tokoh masuk ke kamarnya bersama VIP sementara si Janggut bersama wanita yang baru dikenalnya. Tetapi, ketika larut malam kedua wanita itu keluar bersamaan dari kamar mereka masing-masing sembari menangis. Tak lama kemudian si Janggut dan si Tokoh juga keluar dai kamar mereka. Mereka berdua berjalan menuju pekarangan dan kemudian duduk di atas sebuah bangku.
Ketika pagi datang, si Tokoh dan si Janggut kembali masuk ke dalam rumah. Mereka mandi. Memakai pakaian serta sarapan. Setelah itumereka berdua pamit untuk kembali ke tempat tinggal si Janggut.
Kedua wanita itu melihat kepergian si Tokoh dan si Janggut. Setelah mereka berdua tak lagi terlihat kedua wanita itu saling menceritakan apa yang mereka alami semalam. Ternyata apa yang mereka alami sama. Si Tokoh dan si Janggut sama sekali tidak menyentuh mereka. Itulah yang menjadikan mereka berdua menangis. Mereka merasa malu kepada si Tokoh dan si Janggut.
Suatu hari si Janggut terbaring lemah. Ia seakan tidak memiliki kekuatan untukbangun. Badannya panas serta dari hidung dan mulutnya mengeluarkan lender. Dia tersenyum pucat kemudian memejamkan mata untuk selamnya. Si Tokoh merasa sedih. Ia kini hanya sendirian di tempat itu. Untuk menemaninya si Tokoh memutuskan untuk tidak mengubur si Janggut.
Di tengah hari yang cerah. Si Tokoh mengalami peristiwa yang sama dengan apa yang dialami oleh si Janggut. Ia tak dapat bangun. Ia hanya bisa terbaring lemah. Namun, ia masih senang karena tidak ada lendir dari hidung atau mulutnya ketika ia merabanya. Ia mengira kematian hanya akan datang ketika manusia sudah tidak dapat bangun danmengeluarkan lendir seperti yang dialami oleh si Janggut dahulu.
Tiba-tiba ia mendengar suara mobil berjalan didekatnya. Ia hanya menganggap itu ilusi semata. Dia merasakan sesuatu di lidahnya. Ia mengira jika itu adalah ludah basi kental. Ia mencoba bangun untuk membuang ludah basi tersebutdari mulutnya. Namun, ia tidak berhasil. Ia tiba-tiba jtak dapat melihat sekitarnya. Ia merasa gelap. Gelap. Dan gelap. Setelah itu ia jatuh pingsan.
Ia sadar ketika berada di rumah sakit. Ia melihat seseorang berkepala botak dan berkacamata  yang merupakan seorang dokter dalam anggapanya serta si Gemuk Pendek. Ia bertanya kepada laki-laki botak berkaca mata itu perihal si Janggut. Laki-laki botak berkaca mata itu menjawab jika si Janggut sudah dikuburkan.
Si Tokoh menganggap jika ia tidak menderita sakitapa-apa sehingga ia segera keluar dari rumah sakit tersebut. Si Gemuk Pendek datang menjemputnya. Si Gemuk Pendek bermaksud mengajak si Tokoh ke rumahnya. Namun, di belokan terakhir sebelum rumah si Gemuk Pendek si Tokoh kita meminta diturunkan. Meskipun si Gemuk Pendek sudah membujuk tetapi si Tokoh bersikeras. Si Gemuk Pendek akhirnya membiarkan si Tokoh pergi. Si Gemuk Pendek memberikan sesuatu kepada si Tokoh untuk bekal diperjalannya.
Terdengar kabar yang sangat menggemparkan. Kabar itu adalah akan datangnya hujan. Hujan yang telah lama ditunggu dan dinantikan. Semua orang bergembira. Namun, lama mereka menanti hujan tak kunjung turun. Mereka kembali menjalani hari-hari seperti sebelum ada berita tersebut. Mereka kembali mudah marah karena frustasi akan kemarau yang sangat panjang itu.
Suatu hari petir menggelegar berkali-kali. Semua orang terkejut. Mereka berlari kesana kemari. Setelah awan hitam datang dari arah utara barulah mereka semua tenang. Mereka bersorak bahagia. Seluruh kota mendung. Halilintar saling bersahutan.
Ketika gerimis datang mereka berpesta. Ada yang melompat tinggi sekali lalu jatuh dan mati. Ada yang berteriak hingga suaranya hilang dan menjadibisu. Ada yang mecakar mukanya hingga buta. Setelah hujan berhenti mereka baru menyadari apa yang terjadi pada diri mereka. Mereka berlari masuk ke dalam rumah masing-masing karena ketakutan.
Kini di kota itu yang tersisa hanya si Tokoh. Ia berjalan-jalan melihat mayat-mayat bergelimpangan. Di ujung jalan ia melihat seseorang. Ternyata yang dilihatnya adalah pastor. Pastor itu menguburkan semua mayat itu menurut agama yang dianutnya.
Dua pecan kemudian seorang wanita keluar dari rumahnya. Mukanya pucat karena sudah dua pecan ia tidak terkena sinar matahari. Wanita itu ternyata VIP. Ketika ia bertemu dengan si Tokoh ia sangat bahagia. Mreka berdua berpelukan hingga melakukan hubungan intim di tengah jalan. Tiba-tiba datang pastor dan melihat semua yang dilakukan oleh mereka berdua. Pastor mencoba membuang muka seolah-olah tak melihat apapun. Melihat pastor datang mereka berdua menghentikan kegiatan yang temngah mereka lakukan. Dengan malu VIP pergi menjauhi tempat tersebut. Si Tokoh memanggil pastor kemudian mereka berdua bercakap atau lebih tepatnya berdebat.
Ketika warga kota tersebut belum ada yang keluar dari tempat persembunyiannya, si Tokoh memutuskan untuk menjadi walikota dan semua jabatan yang ada di kota tersebut. Dia beralasan demi administrasi kota sehari-hari. Kini dia memiliki kesibukan untuk mengusir kesepiannya. Namun, satu bulan setelah kejadian mengerikan yang menimpa kota tersebut keadaan kembali normal. Walikota, aparat, serta penduduknya kembali mendiami kota tersebut sebagaimana biasanya.
Ketika penaikan bendera dib alai kota sebagai tanda jika kota tersebut telah normal kembali, si Tokoh menangis karena kini ia bukan lagi walikota atau aparat pemerintahan kota tersebut. VIP dan Pastor mencoba menghiburnya. Tetapi, si Tokoh tetap menangis. Karena kesal akan tingkah laku si Tokoh, VIP berkata jika ia telah hamil. Ia tengah mengandung anak dari si Tokoh tersebut. Si Pastor yang mendengar pengakuan dari VIP menyuruh mereka untuk menikah. Namun, si Yokoh dan VIP  menolak perintahdari Pastor tersebut. Si Tokoh mengusir VIP dengan kata-kata kasar. VIP yang mendengar kata-kata si Tokoh pergi sembari menangis.
Si Tokoh memutuskan kembali ke bekas tempat gerombolan si Janggut. Di sana ia bertemu dengan lelaki tua yang dahulu pernah ditemuinya ketika petama kali ia akan pergi ke tempat dimana si Janggut berada. Ia bercakap-cakap dengan lelaki tua tersebut. Ia bertanya jawab dengan lelaki tua tersebut perihal si Janggut dan kejadian yang pernah terjadi di tempat tersebut./
Suatu hari si Tokoh memutuskan untuk menjadikan tempat bekas sarang gerombolan si Janggut dan teman-temannya sebagai kota baru. Ia pergi ke tempat para pembesar transmigrasi. Ia menjelaskan rencananya yang ingin menjadikan tempat bekas sarang gerombolan si Janggut dan teman-temannya sebagai kota baru. Namun, para pembesar transmigrasi tersebut menolak rencana yang telah diterangkan oleh si Tokoh. Para pembesar transmigrasi justru menawarkan kepada si Tokoh sebuah pekerjaan. Tetapi, si Tokoh menolaknya dan segera pergi dari tempat tersebut.
Si Tokoh kemudian pergi ke rumah si Gemuk Pendek. Ketika samapi di rumah si Gemuk Pendek ia disambut oleh VIP lain. VIP IImenerangkan jika si Gemuk Pendek telah tewas. Ia ditembak mati oleh aparat pemerintahan. Mayatnya di tenggelamkan ke dasar lautan. Sementara VIP I pulan kembali ke rumahorang tuanya karena ia tengah hamil. Si Tokoh memutuskan segera pergi dari tempat tersebut. Tetapi, ia dipanggil kembali oleh VIP II. Si Tokoh berhenti sementara VIP II berlari ke dalam rumah dan mengambil sebuah kertas. Kertas itu kemudian ia berikan kepada si Tokoh.
Si Tokoh menangis karena si Gemuk Pendek satu-satunya teman yang ia miliki kini telah tewas. Sembari mengusap air matanya, si Tokoh membaca tulisan yang terdapat pada kertas pemberian dari VIP tadi. Ternyata kertas tersebut berisi tentang keinginan si Gemuk Pendek yang mau mewariskan semua kekayaannya pada si Tokoh. Si Tokoh pergi menemui notaris yang ada di kota tersebut dan menanyakan perihal isi surat tersebut. Notaries membenarkan jika kini ia telah menjadi pemilik segala sesuatu yang dulu menjadi milik si Gemuk Pendek.
Si Tokoh meminta notaries untuk membelikanseluruh perlengkapan yang dibutuhkan untuk membangun sebuah kota. Meski dengan sedikit perasaan kaget serta tidak mengerti, notaries melaksanakan apa yang diminta oleh si Tokoh. Sementara si Tokoh sendiri pergi menemui para arsitek dan pemborong yang ada di kota tersebut.
Pengerjaan proyek si Tokoh pun dimulai. Tempat bekas sarang gerombolan si Janggut dan teman-temannya kini sibuk luar biasa. Hal ini menarik perhatian masyarakat umum dan juga para pembesar transmigrasi. Para pembesar transmigrasi mengirimkan beberapa orang tim ahli untuk mensurvei proyek si Tokoh. Si Tokoh sendiri menyambut kedatangan tim ahli tersebut dengan hangat. Dalam waktu singkat tim ahli tersebut telah menyelesaikan laporan mereka kepada para pembesar transmigrasi.
Setelah membaca laporan dari tim ahli tersebut, para pembesar segera mendaftarkan kota yang akan dibangun oleh si Tokohkepada pemerintah pusat. Mereka meminta transmigran-transmigran baru yang akan tinggal di sana.
Di tengah kesibukan membangun kota baru tersebut, si Tokoh dikejutkan oleh datangnya awan-awan hitam beserta halilintar yang menggelegar. Hal ini menandakan jika hujan akan segera turun dan jika hujan turun maka proses pembangunan akan terganggu. Ia pergi ke kota dngan menggunakan mobil jipnya. Ia pergi ke sana-sini untuk meminta bantuan untuk menunda datangnya musim hujan. Namun, tak ada satu pun yang bisa membantunya.
Ia kembali ke tempat pembangunan kota baru tersebut. Di tengah jalan ada truk yang tiba-tiba datang di tikungan tajam. Tabrakan pun tak dapat dihindari. Beruntunglah si Tokoh. Ia sama sekali tidak mengalami cedera. Orang-orang yang ada di atas truk memaki-maki. Tetapi, setelah mereka terdiam setelah mengetahui jika itu adalah si Tokoh yang merupakan bos mereka. Mereka semua akhirnya meminta maaf kepada si Tokoh. Si Tokoh memaafkan mereka dan menyuruh mereka segera berangkat kembali. Karena mobilnya rusak si Tokoh akhirnya berjalan kaki menuju kota baru tersebut.
Hujan tiba-tiba turun. Si Tokoh berlari menuju kota baru tersebut. Dia berlari dengan sangat cepat. Di depannya ada truk-truk yang sedang berjalan menjauhi kota baru tersebut. Dia menghadangnya. Ternyata mereka adalah para pekerja pembanguna kota baru tersebut. Si Tokoh bertanya mengapa mereka berhenti mengerjakan pembangunan tersebut. Salah-satu menjawab jika kota baru yang hamper selesai itu telah roboh karena angin rebut. Si Tokoh menyuruh mereka kembali ke tempat tersebut dan bekerja kembali. Mereka semua akhirnya berbalik menuju kota baru tersebut.
Ketika si Tokoh sampai ke tempat pembangunan tersebut, ia melihat jika semua bangunan telah roboh. Si Tokoh mengambil sebuah kayu yang jatuh karena dihempaskan oleh angin dan melemparkannya kembali sekuat tenaga. Dia tegakkan leher bajunya. Lengan bajunya dia gulung. Tangannya ia ulurkan kepada pekerjanya yang masih diam terpaku di atas truk dan mengajak mereka kembali bekerja membangun kota baru tersebut.